Agustus 4, 2022

Potensi Pendekatan Biomolekuler dalam Mengatasi Kaheksia Akibat Kanker

ilustrasi : Pfizer.com

Kaheksia adalah sekelompok gejala yang ditandai dengan turunnya berat badan karena berkurangnya massa otot rangka dan jaringan lemak, ketidakseimbangan dalam regulasi metabolik, dan kurangnya asupan makanan (Ni & Zhang, 2020). Kaheksia merupakan salah satu komplikasi pada kanker, namun juga ditemui sebagai komplikasi dari penyakit kronis lainnya, seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), infeksi human immunodeficiency virus (HIV), gagal jantung kronis, diabetes, gagal hati, artritis reumatoid, dan gagal ginjal kronis (Muscaritoli dkk., 2010). Studi menunjukkan bahwa sekitar 50-80% pasien kanker mengidap kaheksia dan setidaknya 20-48% kematian terkait kanker per tahun dikaitkan secara langsung dengan sindrom ini karena timbulnya gangguan fungsional, kelelahan dan komplikasi terkait jantung dan pernapasan (Argiles dkk., 2014).

Pada pasien kanker, atrofi otot (penurunan massa otot) terjadi ketika kecepatan keseluruhan degradasi protein melebihi kecepatan sintesis protein sehingga terjadi ketidakseimbangan homeostasis protein yang lebih mendukung proses katabolisme (pemecahan protein otot). Selama proses terjadinya kaheksia, degradasi selektif dari protein otot rangka melalui aktivasi sistem ubiquitin-proteasome mengakibatkan terjadinya degradasi protein sarkomer, sebagaimana yang terjadi pada kondisi katabolik lainnya, seperti kondisi saat otot tidak digunakan atau tidak seaktif biasanya. Terlebih lagi, kaheksia dan kondisi dimana otot tidak digunakan atau seaktif biasanya dapat berefek buruk yang mendorong terjadinya pengecilan massa otot. Kaheksia berakibat pada menurunnya mobilitas karena kelelahan dan pengecilan massa otot semakin diperparah dengan berkurangnya aktivitas penggunaan otot pada kasus kaheksia pada kanker, menimbulkan suatu ‘lingkaran setan’. Sitokin proinflamasi yang diproduksi oleh sel-sel imun dan tumor pada kasus kaheksia pada kanker, seperti IL-6, IL-1β, dan TNF-α, serta molekul lainnya seperti myostatin dan activin, mendorong terjadinya proses katabolik pada jaringan otot rangka, jaringan lemak, dan sistem saraf pusat. Efek yang timbul antara lain, anoreksia, berkurangnya asupan makanan, inflamasi pada sistem saraf pusat, dan lipolisis pada jaringan lemak (Argiles dkk., 2014).

Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa jalur-jalur biomolekuler berperan penting dalam terjadinya atrofi pada jaringan otot akibat kaheksia kanker. Penelitian oleh Martinelli dkk. (2016) menemukan bahwa pada otot yang mengalami atrofi dari hewan coba tikus yang menderita kanker hati (hepatoma), jalur gen pengkode C-X-C motif chemokine receptor 4 (CXCR4) dan stromal cell-derived factor 1 (SDF1) mengalami penurunan regulasi. Sementara itu, penelitian oleh Re Cecconi dkk. (2022) pada tikus yang diinduksi kanker kolon, kanker paru, dan sarkoma menemukan peningkatan induksi MuRF1 sekitar 2 hingga 8 kali lipat. Ekspresi apelin, suatu protein yang disinyalir dapat meningkatkan sintesis protein di otot, merosot sebanyak 50% pada tikus yang membawa sel kanker kolon dan paru, serta menurun 30% pada tikus yang membawa sel sarkoma. Lebih lanjut, kedua tim peneliti tersebut mengkonfirmasi bahwa pada biopsi otot rectus abdominis (otot di bagian depan perut) pasien kanker, ekspresi SDF1 dan CXCR4 berbanding terbalik dengan dua ligase ubiquitin yang aktif dalam penurunan massa otot, yakni atrogin-1 dan MuRF1, dan ekspresi apelin juga berbanding terbalik dengan MuRF1. Secara keseluruhan, temuan ini mendukung gagasan bahwa mengaktifkan jalur CXCR4 serta menginduksi jalur apelin pada otot berpotensi menekan kaheksia akibat kanker.

Sampai saat ini, pengobatan yang paling umum digunakan untuk kaheksia kanker adalah pembedahan atau gabungan kemoterapi-radioterapi. Akan tetapi, pengobatan ini bukan tanpa efek samping. Pasien yang mendapat pengobatan rutin akan mengalami dampak serius dari pengobatan anti-kanker yang mengarah pada perburukan status nutrisi dan fungsi, dan akhirnya berkembang menjadi kaheksia (Li dkk., 2021). Beberapa mediator potensial dan jalur pensinyalan telah digunakan sebagai target terapeutik dalam studi preklinik. Studi oleh Pretto et al. (2015) menunjukkan bahwa sunitinib, suatu penghambat reseptor tirosin kinase (TKI) yang terutama menargetkan reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF) dan platelet-derived growth factor (PDGF), dapat mencegah penurunan berat badan dan pengecilan otot serta secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup tikus yang mengandung karsinoma sel ginjal (RXF393). Penurunan berat badan juga dicegah pada tikus yang membawa karsinoma kolon (usus besar). Sunitinib dianggap mampu menahan overaktivasi jalur STAT3 dan MuRF-1, yang terlibat dalam peningkatan katabolisme protein otot selama kaheksia kanker.

Pada studi menggunakan biakan jaringan otot oleh Re Cecconi dkk. (2022), jaringan otot yang diberikan peptida apelin-13 dapat terhindar dari atrofi akibat pemberian deksametason secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0.001). Tim peneliti ini juga menemukan bahwa pemberian deksametason pada biakan jaringan otot dapat mengaktivasi jalur persinyalan MuRF-1 yang menimbulkan atrofi otot. Ekspresi dari MuRF-1 ini dapat dikurangi oleh preporapelin, suatu prekursor dari apelin, sehingga harapannya dapat mengurangi atrofi otot pada penderita kanker yang mengalami kaheksia. Akan tetapi, pada percobaan menggunakan hewan coba (in vivo), pemberian peptida apelin-13 secara langsung ataupun melalui plasmid yang dibawa vektor belum berhasil menekan laju atrofi otot pada tikus model kanker. Hal ini diketahui kemudian karena adanya resistensi dari reseptor apelin/APJ pada tikus model kanker, sehingga mencegah efek positif dari apelin dalam menghambat atrofi otot.

Kaheksia merupakan salah satu komplikasi dari kanker yang memberikan dampak signifikan terhadap penurunan kualitas hidup dan mortalitas penderitanya. Jalur-jalur persinyalan seluler seperti VEGF, PDGF, dan Apelin/APJ terbukti berperan dalam proses terjadinya kaheksia. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menyingkap mekanisme kaheksia dari aspek molekuler secara lebih mendalam dan inovasi untuk menghadapi tantangan seperti resistensi reseptor terhadap mokelul pensyinyal. Harapannya, penderita kanker dapat terhindar dari dampak negatif kaheksia secara fisiologis dan fungsional, serta mengalami perbaikan kualitas hidup.

Referensi (Harvard):

Argilés, J., Busquets, S., Stemmler, B. et al. Cancer cachexia: understanding the molecular basis. Nat Rev Cancer 14, 754–762 (2014). https://doi.org/10.1038/nrc3829.

Muscaritoli, M., et al. (2010). Consensus definition of sarcopenia, cachexia and pre-cachexia: joint document elaborated by Special Interest Groups (SIG) “cachexia-anorexia in chronic wasting diseases” and “nutrition in geriatrics”. Clinical nutrition (Edinburgh, Scotland), 29(2), 154–159. https://doi.org/10.1016/j.clnu.2009.12.004.

Martinelli, G.B. et al. (2016) ‘Activation of the SDF1/CXCR4 pathway retards muscle atrophy during cancer cachexia’, Oncogene, 35(48), pp. 6212–6222. doi:10.1038/onc.2016.153.

Ni, J., & Zhang, L. (2020). Cancer Cachexia: Definition, Staging, and Emerging Treatments. Cancer management and research, 12, 5597–5605. https://doi.org/10.2147/CMAR.S261585.

Pretto, F. et al. (2015) ‘Sunitinib prevents cachexia and prolongs survival of mice bearing renal cancer by restraining STAT3 and MuRF-1 activation in muscle’, Oncotarget, 6(5), pp. 3043–3054. doi:10.18632/oncotarget.2812.

Re Cecconi, A.D. et al. (2022) ‘Apelin Resistance Contributes to Muscle Loss during Cancer Cachexia in Mice.’, Cancers, 14(7). doi:10.3390/cancers14071814.

Penulis:

Hanif Ardiansyah Sulistya, Danial Habri Arsyi

(Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; artikel ini ditulis saat kedua penulis mengikuti program magang riset di Department of Signal Transduction, Research Institute for Microbial Diseases, Osaka University, Japan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *