Desember 28, 2021

Peduli Difabel, Alumni dan FK UNAIR Gelar Workshop Pelayanan Kesehatan Inklusif

UNAIR NEWS – “Bagi mereka (orang-orang difabel, terutama difabel ganda) dunia hanya sebatas jangkauan tangan mereka. Tugas kita adalah menunjukan kepada mereka bahwa dunia luas dan membuat mereka dapat ‘melihat’ dunia.”, terang Bu Masfufah kepada peserta workshop. Ironisnya, masih sangat jarang institusi-institusi kesehatan yang mengadakan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk populasi difabel.

Tidak bisa dipungkiri, pasien difabel, terutama dalam pembahasan kali ini adalah pasien tuli, sering dimarginalisasikan secara tidak sadar dalam pelayanan kesehatan. Sebagai contoh umumya pelayanan kesehatan terhadap pasien difabel dirasa kurang memenuhi standar (substandard). Pelayanan substandard yang terjadi pada dasarnya tidak pernah diniatkan, melainkan karena kurangnya komunikasi efektif antara tenaga kesehatan dan pasien difabel. Kondisi ini pada dasarnya dapat diatasi dengan penyediaan juru bahasa isyarat pada fasilitas pelayanan kesehatan. Akan tetapi, jumlah juru bahasa isyarat yang tersedia ternyata sangat tidak sebanding dengan rasio populasi orang bisu dan/atau tuli. Di Pulau Jawa saja, terdapat kurang lebih 250.000 orang tuli dengan penerjemah isyarat hanya 34. Bisa dibayangkan, tanpa pengalaman dan pemahaman terkait dunia tuli, miskomunikasi akan sangat mungkin terjadi antara tenaga kesehatan dan pasien bisu atau tuli.

Mengingat pentingnya pelatihan pelayanan kesehatan terhadap pasien difabel, Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Angkatan 2015 (CORNEA) berkolaborasi dengan FK UNAIR untuk mengadakan workshop pelayanan terhadap pasien difabel. Acara bertajuk “Melayani Teman Tuli dengan Hati” yang dilaksanakan pada Ahad, 19 Desember 2021 ini diikuti oleh puluhan peserta dari 17 kota di Indonesia dengan berbagai latar belakang profesi bidang kesehatan.

Workshop tersebut dibuka oleh Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.THT-KL (K) dengan pemaparan terkait gangguan bicara dan pendengaran serta urgensi tenaga kesehatan mempelajari bahasa isyarat dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pasien tuli. Pada mayoritas pasien, kondisi tuli merupakan kondisi yang didapat sejak lahir. Hal ini dapat berupa genetik maupun non-genetik seperti infeksi virus rubella. Anak dengan riwayat keluarga tuli memiliki resiko tuli lebih tinggi dari anak tanpa riwayat keluarga tuli.

Pengenalan dini anak dengan tanda-tanda gangguan pendengaran dan gangguan bicara baik oleh orang tua maupun tenaga kesehatan dapat mengurangi keparahan dan meningkatkan kualitas hidupnya di masa depan. Sebagai contoh, jika anak terlihat tidak merespon ketika ada suara-suara di sekitarnya, orang tua perlu waspada akan kemungkinan adanya gangguan pendengaran pada anak. Saat masih kecil, otak masih plastis sehingga dapat diberikan terapi yang tepat untuk mengurangi keparahan kondisi tuli anak dan memaksimalkan indera yang lain. Harapannya, sang anak dapat menjalani hidup selayaknya orang normal di masa dewasa nanti. “Prinsipnya, semakin cepat ditangani semakin bagus kondisi anak” ungkap dr. Nyilo Purnami. Selain itu, perkembangan teknologi saat ini memungkinkan pasien tuli untuk dapat mendengar dengan alat bantu dengar atau implan.

Anak dan orang difabel memiliki hak yang sama dalam pelayanan kesehatan namun seringkali terabaikan. Semisal pasien anak bisu atau tuli akan sangat kasihan jika tiba-tiba diberi obat atau disuntik tanpa persetujuan mereka, sekalipun dengan pengobatan yang benar. Mereka sebenarnya bisa mempelajari ketika mereka sakit mereka akan dibawa ke dokter diobati dan mungkin disuntik. “Hal tersebut juga diajarkan di sekolah khusus dengan memberikan penjelasan melalui berbagai barang-barang yang berkaitan seperti stetoskop dan suntik”, ujar Bu Masfufah, lulusan kursus leadership untuk anak-anak difabel Massacuchets, USA.

Ketika menemui pasien difabel, tenaga kesehatan seyogyanya memperkenalkan tentang tindakan yang akan dilakukan sebab anak-anak difabel belajar secara alamiah. Ketika anak-anak difabel diberikan pelajaran tata cara buang air kecil yang benar di kelas, maka mereka akan mampu melakukan buang air kecil dengan benar namun mereka akan melakukannya di kelas atau sembarang tempat. Namun ketika mereka diberikan pelajaran buang air kecil ketika mereka merasakan keinginan untuk buang air kecil dan langsung diajarkan di kamar mandi, maka anak-anak akan mengingatnya, dan sekali ingat anak-anak difabel akan sangat disiplin. Hal itu juga yang sebaiknya dipraktikkan oleh tenaga kesehatan ketika melayani pasien difabel.

Di akhir sesi, workshop ditutup dengan pelatihan BISINDO Dasar dalam pelayanan kesehatan. Pelatihan Bahasa isyarat BISINDO diajarkan melalui praktik interaktif bersama pengajar BISINDO dari Komunitas Arek Tuli Surabaya.. Peserta dibagi ke dalam dua breakout room yang berbeda dan setiap peserta mendapatkan kesempatan untuk mempraktekan pelajaran dan dikoreksi oleh pengajar bahasa isyarat.

“Belajar bersama dengan keadaan yang menyenangkan akan lebih mudah diingat. Saya sudah belajar BISINDO dari Youtube, namun saya langsung hafal ketika belajar bersama seperti ini. Terimakasih, semoga semakin sering ada acara seperti ini”, ungkap Dwi Ayu, salah satu peserta workshop dalam borang evaluasi yang disediakan panitia.

Workshop pelayanan kesehatan terhadap pasien difabel merupakan salah satu wujud kepedulian Alumni FK UNAIR dan UNAIR terhadap populasi orang berkebutuhan khusus. FK UNAIR dan seluruh civitas akademika bertekad memberikan pelayanan kesehatan berbasis inklusif. Koordinator kegiatan, Husada Tsalitsa Mardiansyah mengungkapkan “Kami akan mencoba menindaklanjuti kegiatan ini dalam bentuk pengabdian masyarakat, penelitian dan mengajukan usulan materi pelayanan kesehatan inklusif sebagai salah satu bagian dari kurikulum FK UNAIR, InsyaAllah. Mohon doanya,” ungkapnya.

Penulis: Pandit Bagus Tri Saputra dan Dinda Dwi Purwati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *