500 lilin di Lapangan FK UNAIR di Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia

Tak seperti biasanya, lapangan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) nampak terang, Sabtu malam lalu. 500 orang berkumpul menyalakan lilin memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang jatuh setiap tanggal 10 September.
Dekanat, Direktur RSUD Dr. Soetomo, psikiater, PPDS, dokter hingga mahasiswa hadir. Tak terkecuali Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak.
Bahkan malam itu wagub juga menyumbangkan suara emasnya. Sambil memetik gitar, ia membawakan lagu Smile, membawa pesan harapan kepada penderita depresi. Bahwa mereka tidak sendiri. Mereka layak hidup dan mendapatkan dukungan moral. Suara merdu, petikan gitarnya serta ratusan lilin yang mengelilinginya membuat suasana malam itu makin syahdu.
“Satu hal yang perlu kita bangun sebuah kesadaran di tengah masyarakat adalah ada yang namanya kesehatan jiwa. Dan ini adalah sebuah kondisi yang dianggap sebagai rumpun medis,” terang wagub.
Untuk mengurangi angka bunuh diri sendiri, lanjut Kang Emil dibutuhkan sebuah kesadaran (awareness). Seorang dengan masalah kesehatan jiwa, misalnya depresi tidak seharusnya dihakimi. Malah mereka sangat membutuhkan dukungan moral. Apalagi dari orang-orang terdekat seperti keluarga dan teman.
“Kadang keluarga justru yang paling sulit menyadari bahkan sulit menerima. Karenanya teman bisa menjadi penolong utama. Karena biasanya orang lebih nyaman curhat ke temen. Kadangkala kita punya temen kemudian temen itu bercerita, merasa dia ini butuh pertolongan. Kita nggak tahu dia ini chance nya sekadar lagi sedih atau memang menjurus ke depresi. Karenanya kalau kita ragu sebaiknya kita asumsikan depresi dan segera akses pertolongan,” papar suami Arumi Bachsin ini.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Dekan FK UNAIR, Prof. Dr. Budi Santoso, dr., Sp.OG(K). Dekan menyebut, jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia sebanyak 1 juta ribu per tahun. Rata-rata kasus bunuh diri terjadi pada usia 19-39 tahun. (Dewasa muda). Ini menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia melebihi kecelakaan lalu lintas.
“Ini sangat memprihatikan. Karenanya kesehatan mental ini tidak bisa disepelekan. Jika adik-adik melihat teman atau keluarga terdekat murung, mengarah ke depresi tolong dibantu. Jangan dihakimi. Kalau bisa kita bantu ke profesional,” harap dekan.
Perlu Ada Perubahan Pada Sistem Kesehatan
Perwakilan Indonesia di Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (IASP), dr. Nalini Muhdi Agung, Sp.KJ(K) menambahkan, yang perlu disadari, seorang yang cenderung melakukan bunuh diri sebenarnya selama ini mereka “Cry for Help” atau membutuhkan pertolongan.
“Karenanya setiap tahun tema peringatan kita adalah Creating Hope Through Action. Kami peringati dengan menyalakan lilin setiap tanggal 10 September jam 20.00 malam untuk menunjukkan dukungan. Kita berikan harapan kepada mereka bahwa kita ada untuk mereka,” tambah psikiater senior di Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo ini.
kejadian bunuh diri terus meningkat setiap tahun. Bahkan kejadian tertingginya bergeser dari yang awalnya dari negara-negara Eropa dan Amerika menjadi negara-negara Asia.
Sayangnya, angka kejadiannya tidak pasti karena selama ini data hanya didapat dari kepolisian, bukan dari rumah sakit. Hal ini, tak lepas karena di Indonesia sendiri, bunuh diri masih dianggap sesuatu yang ilegal. Bukan karena masalah kesehatan jiwa. Karenanya pihaknya masih mengupayakan agar hal ini diakui dalam sistem kesehatan.
“Selama itu dianggap ilegal, maka tidak akan dicover oleh asuransi kesehatan manapun. Dan itulah karenanya kita tidak pernah bisa mendiagnosa hal itu,” lanjutnya.
Mengapa ini penting, di luar satu juta orang yang meninggal bunuh diri, sebetulnya ada puluhan kali lipat orang yang melakukan percobaan bunuh diri. Dan itu tidak diketahui. Karenanya perubahan sistem kesehatan dalam melihat bunuh diri menjadi bagian dari masalah kesehatan mental. (ISM)